Keluhan petani yang banyak kita dengar atau kita saksikan saat ini antara lain hama/penyakit pada tanaman kita. Padahal mereka sudah menghabiskan tenaga dan waktu, tapi tanamannya hancur karena hama. Dari mana datangnya hama/penyakit ini? Bukankah setiap saat ada hama, selalu kita gunakan pestisida untuk menghancurkan hama/penyakit ini?
Berikut ini ada sedikit informasi yang barangkali mencerahkan para petani atau calon petani bagaimana mengendalikan hama/penyakit itu. Ada yang mengatakan bahwa penyebab adanya berbagai hama di dunia pertanian itu terutama akibat pemakaian pestisida yang tidak bijak. Mengapa tidak bijak? Pestida dianggap “senjata pamungkas” untuk setiap jenis hama. Kita lupa bahwa tidak semua jenis hama itu musnah dengan pestisida yang kita aplikasikan. Menurut Departemen Proteksi Tanaman IPB (Institut Pertanian Boogor), penggunaan pestisida yang berlebihan justru akan memicu kekebalan pada hama tanaman.
Karena merasa hama yang dikendalikannya tidak kunjung mati atau berkurang, maka petani dengan instingnya terdorong untuk semakin sering melakukan penyemprotan pestisida, bahkan menambah dosisnya. Padahal, penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat kembali meningkatkan populasi hama.
Perlu diketahui bahwa, dari banyaknya populasi hama yang ada, biasanya terdapat individu hama yang memiliki sifat genetik tahan terhadap jenis pestisida tertentu. Individu-individu yang tahan terhadap pestisida tersebut akan berkembang biak menjadi populasi hama. Hal ini sering dikenal dengan istilah resistensi, yaitu kondisi dimana terdapat populasi hama yang tidak dapat dikendalikan oleh pestisida.
Resurgensi hama
Resurgensi merupakan suatu kondisi dimana pestisida sebagai racun yang berspektrum luas, selain dapat membunuh hama ternyata juga dapat membunuh musuh alami hama, seperti polinator, burung, ikan, dan musuh alami lainnya.
Selain karena matinya musuh alami hama, resurgensi hama juga dapat disebabkan oleh jenis-jenis pestisida tertentu yang justru dapat memacu peningkatan telur serangga hama. Hal ini telah dibuktikan oleh International Rice Research Institute terhadap hama wereng coklat (Nilaparvata lugens).
Timbulnya hama sekunder
Melalui penggunaan pestisida, petani mungkin merasakan populasi hama semakin berkurang. Namun di balik itu, ada hal lain yang menjadi masalah yakni munculnya hama baru yang sebelumnya tidak menjadi masalah setelah populasi hama lama terkendali.
Jenis hama tertentu dapat dikendalikan oleh musuh alami. Namun, setelah penerapan pestisida pada tanaman pertanian, musuh alami hama justru mati sehingga muncullah hama-hama baru yang tidak terkendali.
Pestisida mengalir ke perairan
Sisa pemakaian pestisida dapat merusak ekosistem air yang berada di sekitar lahan pertanian. Hal ini disebabkan oleh pestisida yang membuat air tercemar. Air yang telah tercemar kemudian menyebar dan menyuburkan ganggang di daerah perairan, biasanya sungai dan irigasi.
Karena ganggang-ganggang tersebut tumbuh subur, maka cahaya matahari sulit masuk ke dasar air dan mengakibatkan hewan-hewan dan fitoplankton tidak mendapatkan cahaya. Jika fitoplankton tidak mendapatkan cahaya, maka ia akan mati karena tidak akan dapat berfotosintesis.
Sebenarnya ada cara yang lebih efektif dan murah yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengendalikan hama tanaman tersebut, misalnya dengan penggunaan agen hayati seperti streptomyces, thuringiensis, dan banyak lagi yang mampu secara alami mengendalikan hama. Bakteri ini terdapat dalam pupuk hayati Dinosaurus. Jadi kalau kita mengaplikasikan pupuk Dinosaurus untuk tanaman kita, di dalamnya terkandung agen hayati untuk mengendalikan hama. Ada lagi yang dapat membantu mengendalikan hama di antaranya pemakaian bibit yang berkualitas yang tahan hama, serta dengan pengelolaan lahan yang sehat, di antaranya pemakaian pupuk hayati. (Dari berbagai sumber)._***